Secarik kertas terselip di bawah vas bunga ruang kamar yang kini telah kosong.
Marita, tante Ami, tari minta maaf telah pergi tanpa pamit. Mentari cuma tak ingin terlalu lama merepotkan tante dan marita.apalagi setelah peristiwa itu yang membuang jauh semangat hidupku. Tapi kalian selalu berusaha membuatku kembali ceria, membujukku agar mau makan, tapi tak pernah ku hiraukan. Kalian adalah orang yang kan selalu ada di hati tari. Terima kasih atas semua kebaikan tante dan marita. Tari akan baik-baik saja.
Salam sayang
Mentari
”Ma, semoga tari akan baik-baik saja dan menemukan kembali semangat hidupnya yang telah terkubur”. Marita berharap.
”Iya, rumah ini juga akan terasa sepi tanpa canda tawanya lagi.”
Haru biru mengisi ruang hati yang perlahan mulai hampa karena kepergiannya. Dia yang telah menghilang di antara gelapnya malam. Namun sinarnya masih selalu membuat rembulan tetap bercahaya meski kesedihan telah meniupkan kabut untuk menutupinya.
Malam benar-benar semakin pekat, sementara sesosok tubuh lemah menyusuri trotoar dengan langkah gontai. Langkah kaki itu terus membawanya tanpa arah. Tak sedetikpun dalam benaknya terbesit kemana ia harus berlabuh, hingga saat tubuh lemahnya semakin rapuh, ia mulai tahu kemana ia harus pergi, mengubur semua kenangan pahit. Ia putuskan untuk kembali ke halaman di mana pertama kali ia melihat indahnya bintang yang berkilauan.
Di sebuah halte bus ia menanti sepi hanya bertemankan angin malam. Hingga tak lama kemudian bus yang ia tunggu datang. Di baris yang ketiga ia duduk. Di sebelah kaca jendela sambil terus memandang ke luar, tak henti-henti air matanya menetes.
Mungkin ia terlalu lelah, lampu-lampu jalan membuatnya terlelap. Sejenak ketenangan hati terurai dari wajahnya akan tetapi tiba-tiba ia terbangun, menangis. Di setiap tidurnya hanya ada bayang-bayang kelabu menghantui.
”Eh, kamu....ehm ..maaf saat aku menempati tempat duduk ini aku melihat kamu tertidur dan menggigil kedinginan dan kamu bersandar di bahuku. Tapi, aku tidak keberatan.”
Tari hanya terdiam, mata sayunya menatap pemuda itu dan melepas baju hangat yang menyelimuti tubuhnya.tak ada yang bisa dikatakannya, sebenarnya ia ingin mengucapkan terima kasih tapi...
”maaf, ku lihat kau begitu pucat seperti beberapa hari belum makan. Aku ada sedikit roti, ambil, buat kamu...”. Lagi-lagi tari hanya menggelengkan kepala.
”saat pertama kali ku melihatmu, ku kira kamu bintang kecilku dulu yang tiba-tiba menghilang, tapi ku pikir aku telah salah. Dia amat penceria, selalu bersemangat dan kadang cerewet juga jahil”. Seketika suasana menjadi hening, hanya terdengar suara-suara angin yang berhembus.
*****
Saat bias-bias sinar mentari mulai menembus awan, tari telah menginjakkan kakinya kembali ke kampung halamannya. Sejenak matanya tertuju pada sebuah rumah kecil asri, tak salah lagi di situlah ia pernah merasakan indahnya hidup bersama keluarga hingga saat waktu telah benar-benar menghapusnya.
” Tari, oalah nak, muleh... kamu kemana saja nak? Bude kangen nak sama kamu. Ayo masuk ke rumah dulu”. Sapa bude rima kakak ibu tari.
”sebelum bapakmu meninggal, dia berpesan padaku untuk merawatmu. Sudahlah Tar, anggap saja bude ini sebagai ibumu”. Jelasnya.
Tari hanya diam dan menganggukkan kepalanya pelan penuh keraguan. ”Ya Tuhan andai saja aku bisa seperti yang lainnya..”. Keluh hatinya.
Bude rima tiba-tiba membicarakan tentang kematian ayah tari. Ia berkata bahwa sebenarnya ayah tari bunuh diri. Sebelum ia meninggal sempat bercerita bahwa ia terbelit hutang karena ternyata istri keduanya tak setulus hati mencintainya. Hanya ingin mengeruk harta kekayaan dan mempermainkan perasaan ayah tari.
Dalam benak tari terlintas kata ”seandainya aku ada menemani ayah, pasti...., saat itu seharusnya aku tak pergi dari rumah. Harusnya ku temani ayah dan selalu menjaganya. Aku.... benar-benar tak berguna.”
Tiba-tiba kerapuhan jiwa yang hampir terbenam kembali muncul ke permukaan. Ia beranjak dari sofa, melangkah ke arah bukit di belakang rumah. Sejenak ia ingin sendiri. Sejenak ingin berteriak tapi tak bisa. Matanya kembali berkaca-kaca.
”Kalau aku tidak salah kamu yang ku temui di bus waktu itu kan?”. ucap seorang pemuda yang tiba-tiba muncul dan duduk di samping tari. Sebenarnya dalam hati kecil pemuda itu yakin bahwa tari adalah bintang kecilnya yang hilang.
”Setiap kali aku melihatmu kamu selalu menangis, kenapa? Mungkin kau menganggapku orang yang sok ikut campur, tapi aku hanya ingin membantumu, karena setiap kali ku melihat wajahmu selalu teringat bintang kecilku yang dulu tiba-tiba menghilang tanpa jejak”.
Tari hanya diam dan tak menoleh sedikitpun seolah ia hanya seorang diri di tempat itu.
”Mungkin aku bisa jadi teman, namaku numash. Aku tinggal di sekitar sini. Nama kamu?”. berbicara dengan tari hanya akan membuang-buang waktu, tak akan ada respon.
”Maaf kenapa setiap aku bertanya, kamu tidak pernah merespon perkataanku?”
Tari mengeluarkan buku dari tasnya, ia menuliskan ”Aku gadis bisu yang tak berguna, buat apa kau berteman denganku, hanya akan menyengsarakanmu, pergi!!”
”Kau...? maaf aku tak tahu kalau kamu...”
Tari kembali menuliskan ”puas kamu? Aku sedang ingin sendiri. Aku juga tak butuh belas kasihan. Aku akan berterima kasih kalau kau meninggalkan aku sendiri di sini.”
Numash pun meninggalkan tari sendiri di bukit itu.
*****
Keesokan harinya bude rima pergi ke rumah numash dan meminta tolong padanya agar membujuk tari makan dan pulang. Batin numash berbisik,”tari..., mentari?!!”. Tak salah lagi ternyata gadis yang ia temui di bus dan di bukit itu adalah benar-benar mentari si bintang kecil yang telah lama menghilang dari hari-harinya.
Bergegas ia berlari ke bukit dan meneriakkan nama mentari. Senyum mengurai wajah numash, rona bahagia terlukis. Tapi mentari malah marah padanya dan memintanya pergi. ”Aku bukan mentari yang katamu penuh keceriaan, kuat, bersemangat. Semuanya sudah berubah, aku bisu dan tak berguna.” tulisnya.
”Kau salah, selama ini kau tetap bintang kecilku yang dulu, kau tetaplah sahabatku ada ataupun tiada dirimu”. Jelasnya.
”Bohong! Kau hanya kasihan padaku. Mana ada orang yang betah berteman sama orang bisu yang tak berguna sepertiku. Bahasa isyaratku pun tak pernah dimengerti”. Mentari menuliskannya dengan mata berlinangan air mata.
”Mungkin orang lain tak mengerti bahasa isyaratmu, tapi aku... selalu pahami bahasa kalbumu. Sinar matamu pun aku bisa memaknainya, itu yang tak pernah kau sadari”. Sedetik tari memandang mata numash, ia menuliskan bahwa ia benci dengan keadaannya yang sekarang, bisu. Ia menuliskan dalam bukunya bahwa itu bermula saat ibunya diceraikan karena ayahnya telah menikah lagi. Tari dan ibunya pergi dari rumah, namun saat mereka tinggal di rumah kontrakan kecelakaan terjadi, rumahnya terbakar dan ibunya meninggal di tengah-tengah kobaran api. ”Tapi sebelumnya ibuku dianiaya sampai wajahnya hancur, aku melihat peristiwa naas itu karena aku bersembunyi di bawah kolong tempat tidur.Mungkin saat itu aku terlalu dini harus menempa beban pikiran, hingga akhirnya aku trauma dan tak lagi bisa bicara. Aku tahu itu salahku, andaikata waktu itu aku mau mengikuti ajakan ibu pergi ke rumah bibi muna dan menginap di sana pasti semua tak akan begini. Gara-gara aku juga ayah bunuh diri, aku tak pernah menemaninya, kenapa aku tak pulang setelah ibu meninggal, malah aku tinggal bersama orang lain. Aku.... anak yang tak berguna”. Tangis yang hanya kan terbuang sia-sia terus saja menyelimuti penyesalan akan hal yang tak seharusnya ia sesalkan. Pikiran jernihnya telah tertutup oleh emosi yang membuatnya tak lagi mengingat bahwa semua kejadian adalah karena kehendakNya.
”Tari, aku sangat mengerti kesedihanmu, tapi cobalah kau lihat matahari di barat yang hampir tenggelam itu. Apakah selamanya mentari yang kau lihat pagi tadi begitu terang kan selalu terang? Ada senja yang kan berganti dengan malam. Apakah malam yang begitu pekat hanya akan membuat ketakutan? Ada rembulan dan bintang-bintang”. Mentari hanya diam dan menundukkan kepalanya, perlahan ia beranjak pergi.
”Mentari, kau mau pergi? Aku minta maaf kalau ada kata-kataku yang menyakitkanmu”.
Ia hanya memberikan selembar kertas yang berisi tulisan ”Kau tak mengerti perih hatiku”.
Saat malam benar-benar telah mengganti hari, mentari duduk sendiri di tepi jendela kamarnya, ia pandangi bintang yang begitu indah malam itu, tapi tak jua secerca senyum menghiasi, ia terus memikirkan perkataan numash, ia tak mengerti makna perkataan itu. Namun entah kenapa setelah mendengar kata-kata itu, seolah ada sedikit ketenangan dalam hatinya.
*****
Sudah dua hari mentari tak bertemu numash di bukit itu, ia beranggapan mungkin numash tak akan lagi menemuinya, mentari yang tak seperti dulu.
Sementara itu numash ragu untuk melangkahkan kakinya ke bukit itu, sebenarnya ia selalu merasa hancur ketika ia harus melihat tangis mentari, mengetahui semua penderitaan hidupnya. Dan ia berniat tak menemaninya di bukit agar dia sadar akan kesalahannya yang selalu menganggap semua musibah yang menimpa keluarganya adalah semata-mata karena kesalahannya. Dia yang begitu larut dalam kerapuhan jiwa.
”aku sebaiknya menemuinya, aku takut terjadi sesuatu padanya”. Sambil beranjak ia menggumam. Namun ternyata...
”Mentari, kenapa kamu ke sini?”. Ucap numash yang dikagetkan dengan kedatangan mentari.
”Aku tak mengerti apa yang kau katakan lusa”. Tulisnya.
”Kau hanya akan mengerti jika kau telah benar-benar bisa untuk tak menyalahkan dirimu sendiri dan berfikir jernih”. Jawabnya dengan nada yang agak tinggi sambil membuang muka. ”Untuk apa kau masih di sini, bukannya kau sudah tak butuh aku lagi, aku yang tak pernah bisa mengerti perih hatimu”. Ucapnya sambil melangkahkan kaki dan beranjak pergi. ”maaf tar, aku hanya ingin kau mengerti dan kembali seperti dulu”. Bisik hati kecilnya.
Tari semakin tak mengerti, ia takut jika harus kembali kehilangan orang yang berarti dalam hidupnya karena kesalahan yang dibuatnya.
Tari kembali pulang, dibukanya album foto miliknya, dipandangi foto kedua orang tuanya yang kini hanya itu yang tersisa, terus dipandanginya. Sebentar ia menangis, kalap, berontak dan sebentar ia termenung. Sesekali ia pun tersenyum saat melihat fotonya bersama dengan numash sahabat kecilnya.
Setiap malam ia selalu merenungkan ucapan numash, tapi tak juga ia mengerti, terkadang kegalauan kembali menutupi hatinya, segara ia hapus dengan air wudhu. Hingga perkataan itu ditulisnya di selembar kertas, adakalanya ia merasa bodoh menghiraukan perkataan itu, perkataan yang mungkin tiada makna. Namun di lubuk hatinya yang terdalam ia yakin ada banyak makna di balik kata-kata itu.
*****
Suatu hari saat matahari masih mengintip di balik gunung, mentari pergi ke puncak bukit, sesampainya di bukit ia tuliskan kata-kata itu. ”Tak selamanya mentari yang kau lihat pagi tadi terang kan selalu terang. Ada saatnya berganti senja yang kan menjadi malam. Dan malam takkan selalu membuatmu ketakutan karena ada bintang dan rembulan”.ia pun menuliskan ” aku takkan selamanya dalam kesedihan, ada saatnya aku harus bahagia, begitu pula sebaliknya. Tiada yang sempurna di dunia ini.Tak selamanya manusia itu benar, pasti juga pernah berbuat salah, dan kesalahan itu bukan untuk disesali dengan berlarut-larut dalam kesedihan serta bertindak bodoh, tapi bagaimana menyikapi agar hari esok lebih baik, seperti malam yang tak harus menjadikanku takut tapi menenangkan hati karena ada bintang dan rembulan.....”.
”ya, karena ada bintang dan rembulan”. Sahut numash yang ternyata telah ada di bukit itu sejak tari menuliskan semua kata-kata itu.
”Meski terkadang mereka tak hadir dalam malammu, yakinlah ada bintang-bintang lain yang kan selalu temanimu di sini...”. tambahnya sambil meletakkan tangan kanannya di dada.
Mentari tersenyum kembali dan sinar mata yang telah lama redup kembali terang.
”iya, kan ada orang-orang yang kan terus menyayangimu dan mengisi hari-harimu. Senyumlah... senyummu kembalikan semangatku yang juga hampir sirna. Kau harus selalu ingat ada aku yang selalu mengerti bahasa kalbumu, mengerti makna sinar matamu dan selalu berdoa untukmu disaat orang lain tak mengerti akanmu. Meski aku mungkin tak selalu ada untukmu”.
Bintang kecil yang dulu tiba-tiba menghilang telah kembali bersinar bahkan lebih terang.mereka lalui hari itu dengan penuh keceriaan, berlarian di tengah hamparan padang rumput, memandang langit sore dari puncak bukit, menikmati rembulan dan bintang di tengah pekatnya malam, begitu indah.
*****
Pagi, saat mentari terbangun dari tidurnya, serangkaian bunga ada di samping mentari, bertuliskan ”bintang kecilku, aku harap kamu selalu ingat yang ku katakan kemarin dan selalu tersenyumlah..indah senyummu mencairkan kebekuan hati”. bergegas tari berlari ke rumah numash, ternyata sudah terlambat, ia sudah pergi ke stasiun. Ia pun segera menyusulnya, namun kereta api yang ditumpangi numash mulai meninggalkan stasiun.
”Aku terlambat. Numash...”. batinnya. Namun tak sengaja matanya menangkap sesosok sahabatnya itu, ingin ia berteriak, terus berusaha ”Ayolah aku harus bisa...”. tekad yang begitu kuat dan keyakinannya akan sebuah kekuatan hati membuatnya......
”Nu...nu...numa..num.... nu... numaaaaaaaash......numaaaaaash... doaku menyertaimu!!!”. teriaknya sambil melambaikan tangan.
”jangan pernah bersedih lagi, bintang kecilku...!!!”. teriak numash membalas.
”Terima kasih Tuhan, akhirnya aku bisa berbicara seperti dulu lagi.
Dalam perjalanan pulang ia tak sengaja membaca lembaran majalah yang disodorkan loper padanya.
”Numash?!, vokalis group band ternama? Dengan lagu andalannya “mentari”?. Mentari hanya tersenyum kecil. Siapapun kamu, aku tak peduli kau pemulung, penari atau bahkan penyanyi ngetop, kamu tetap sahabat yang selalu berarti dalam hariku. Karena baru kusadari kau memang rembulan yang selalu menghapus ketakutan dalam pekatnya malam, numash.....”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar