Minggu, 14 November 2010

MAMAK


Bila cinta begitu menyiksa, mengapa kita rela diperbudak olehnya

Bila benci adalah hal yang tidak kita harapkan

Mengapa kita biarkan ia bersemayam di singgasana hati

Cinta dan benci…

Dua sisi dari satu koin mata uang kehidupan


Yang berlaku bagi orang-orang yang rela diperbudaknya



Dokter Mala. Begitulah orang-orang memanggilku, terutama pasien-pasienku. Dalam usiaku yang masih relatif muda ini, aku telah diberi kepercayaan untuk menjadi kepala ruangan poli umum di sebuah rumah sakit swasta di malang. Bagiku itu adalah sebuah tantangan.


Mungkin aku sekarang bukanlah seorang dokter jika 10 tahun yang lalu aku tidak dipungut oleh om Prio dan dibawa ke kota untuk meneruskan pendidikanku yang hampir putus di tengah jalan. Waktu itu aku masih sekolah di jenjang SMP. Karena sebuah konflik keluarga, aku hampir menjadi anak jalanan. Memang pada awalnya aku merasa tidak nyaman hidup di kota besar dan merasa tidak sanggup jika harus meninggalkan kenangan bersama keluarga di desa. Tapi, akhirnya aku terbiasa dan mulai bisa melupakan kepedihan batin yang mendalam meskipun terkadang kenangan pahit itu masih menemani tidurku.


Siang yang melelahkan. Puluhan pasien memadati bangku-bangku tunggu di depan ruanganku. Satu persatu kubantu mereka meringankan keluhan yang mereka derita, perlu kesabaran untuk menghadapi berbagai tipe orang dengan penyakit-penyakit yang mereka keluhkan. Hingga akhirnya, setelah semua ku tangani bersama asistenku, tinggal satu pasien lagi.


“Nyonya Asih..”. Panggil putri, perawat cantik yang menjadi asisten ruanganku. Dari arah pintu sesosok nenek berjalan agak pelan menyapaku dan tersenyum kecil padaku.


“Dokter Kumala..”. Sapanya lirih. Aku sedikit terkejut mendengar nama yang disapanya. Itu namaku, batinku. Tidak ada satupun orang yang memanggilku kumala di rumah sakit itu, nenek itu adalah orang pertama yang memanggilku dengan nama Kumala. Tapi, mereka memanggilku mala atau kumala, bagiku sama saja. Ku meminta putri menanyakan keterangan lengkap tentang dirinya, kemudian ia menyampaikan padaku bahwa nenek itu baru pertama kali datang. Setelah ku periksa, terdapat kemungkinan bahwa ia memiliki Diabetes Melitus atau kencing manis. Segera ku rujuk ia ke bagian laboratorium untuk mengetahui kadar gula dalam darahnya. Tetapi, petugas laboratorium hari itu sedang mengikuti pelatihan TBC selama satu hari. “Besok Nyonya Asih harus datang lagi ke sini”. Jelas putri. Sebelum ia pulang, ia menitipkan padaku sebuah amplop putih polos agak tebal. Sempat aku menolaknya, tapi ia tetap memaksa dan tidak akan pulang jika aku tidak menerimanya. Akhirnya dengan terpaksa aku menerimanya.


Aku hanya membolak-balikkan amplop putih itu, ku bertanya-tanya dalam hati, apa isi amplop misterius itu. Apakah sejumlah uang? Tapi untuk apa, aku juga belum membantunya sama sekali. Apakah sebuah surat?. Tapi surat dari siapa, aku tidak pernah mengenal ia sebelumnya. Atau mungkin lembaran foto cucu atau anaknya yang ingin ia jodohkan denganku?. Aku tertawa kecil sambil memasukkan amplop itu ke dalam tas.


Delapan menit perjalanan ku tempuh. Jalanan macet. Ku buka kaca mobil, ku terkejut. Seorang pemuda memanggilku dan menarik tanganku agar keluar dari mobil.


“Ada…, ada… tabrakan… tabrak lari… tolong bu....”. Ucapnya tergesa-gesa. Segera ku turun mencoba memberikan pertolongan pertama padanya. Namun sepertinya lebih baik jika segera ku bawa ke rumah sakit yang jaraknya hanya delapan menit perjalanan. Beberapa warga membantu korban itu memasuki mobilku yang cukup menampung 2 sampai 3 orang. Ku berharap korban tersebut masih bisa bertahan. Dari kaca spion ku lihat, korban itu ternyata bu Asih, pasien yang ku rujuk ke bagian laboratorium. Ku alihkan pandanganku ke depan, namun terdengar samar dua orang yang mengantarnya berkata “bu, bertahanlah, kita sudah di rumah sakit”. Namun, kami bisa berbuat apa, usia adalah milik Tuhan, bu Asih meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.


Semua masalah bu Asih ditanggung oleh pemuda yang mengaku masih memiliki hubungan saudara dengannya. Aku pun pamit dan menyampaikan rasa bela sungkawa padanya.


Benar-benar hari yang melelahkan, batinku. Ku rebahkan tubuhku ke ranjang. Aku merasa persendianku lepas, lelah. Saat itulah aku merasa bahwa tak mudah menjadi seorang dokter. Tapi aku tidak boleh putus asa dan harus selalu siap menghadapi tantangan apapun, termasuk membuka amplop yang diberikan almarhumah bu asih padaku.


Jantungku terasa lebih keras berdetak. Ku buka amplop itu perlahan…. Ternyata, sebuah surat dengan tulisan tangan yang hampir memenuhi dua halaman.






Untuk Dokter Kumala…


Nak, bagaimanakah kabarmu di kota?, mamak harap kamu selalu sehat dan tetap rendah hati seperti dulu. Nak, mamak tidak tahu harus meminta kesempatan berapa kali untuk menjelaskan kejadian itu. Atau bagaimana cara mamak bisa meyakinkan bahwa mamak terpaksa melakukan perbuatan itu. Tapi sudahlah, jangan dipermasalahkan lagi. Mamak sudah ihlas dengan semua yang terjadi. Nak, mamak rindu dan sayang sekali padamu….





Membaca satu paragraf surat itu membuat tenggorokanku seperti tercekik, jantungku berdegub kencang. Terselip perasaan ingin memeluk mamak dan melupakan apa yang pernah terjadi, namun kebencian berulang kali menghapuskan rasa itu.






Kumala, satu paragaraf di atas itu adalah tulisan yang pernah ditulis oleh mamakmu. Ia ingin sekali mengirimkan surat untukmu, tapi ia putus asa dan malu jika ternyata kamu menolaknya. Tapi diam-diam aku telah mengambilnya dan mengirimkannya padamu.


Kumala. Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Semoga aku tidak terlambat untuk menyampaikan ini padamu.


Ingatkah kamu dengan pertemuan terakhir kalian?.






Membacanya aku kembali tertunduk, air mataku semakin deras mengalir. Aku teringat peristiwa 10 tahun lalu.


Sore itu, langit mendung, aku berjalan pulang dari asramaku. Saat aku sampai di pintu rumah, aku dikejutkan oleh mamak yang duduk di lantai. Merintih, menangis dan meminta maaf kepada abah, tapi abah tidak menghiraukannya dan memintanya untuk keluar dari rumah. Aku yang waktu itu baru datang, hanya bisa diam dan mendengarkan perkataan abah padaku, tentang keburukan dan kesalahan mamak. Hingga yang masih tersimpan dalam ingatanku, aku menyaksikan mamak mamak keluar rumah tanpa membawa apapun, hanya pakaian yang ia pakai, berjalan sambil menangis di antara hujan yang deras dan angin kecil yang bertiup kencang.


Apa yang bisa aku lakukan, hanya diam dan ikut menanamkan kebencian dan kekecewaan padanya. Aku telah membohongi diriku sendiri, aku tidak mampu menahan kepergian mamak padahal sebenarnya aku ingin mendengarkan penjelasan darinya dan memintanya kembali.


Mala, ku yakin kau masih ingat dengan pengorbanan yang ia berikan untukmu. Setiap bulan ia ada untukmu. Saat lelah, senyumnya tetap ada untukmu. Panas dan hujan tidak akan menghalangi langkahnya untuk mengantarkan uang saku bulanan ke asramamu. Ia menceritakan semuanya padaku. Menurutku, dia adalah wanita yang istimewa, paling patuh kepada suami, ia selalu takut jika ia membantah apalagi memerintah abahmu. Bukan karena abahmu diktator, tapi karena kecintaan padanya dan ia ingin berbakti serta patuh kepada suami.






Kalimat-kalimat itu semakin membuatku merasa berdosa. Aku dengan semua kekecewaan dan kebencianku padanya, tidak seharusnya ada. Hingga ku teringat kembali masa lalu. Di tengah terik siang, mamak datang ke asramaku untuk mengantarkan uang, sebagai biaya hidupku sehari-hari. Wajahnya masih sangat melekat dalam ingatanku. Wajah lelah, kantung matanya dan keringat yang membasahi tubuhnya. Terkadang hatiku tersentuh ketika melihat kilauan wajahnya yang hitam dan basah oleh keringat menatapku dengan mata sayu yang berkedip-kedip karena debu yang tertiup angin. Namun, ia masih sempat tersenyum dengan penuh ketulusan dan kasih sayang padaku.


Aku semakin terisak mengingatnya. Betapa teganya aku membiarkan ia pergi sementara sehari-hari aku selalu merepotkannya dengan urusan-urusan sekolah dan asramaku, mengantarkan uang dan kebutuhan lainnya.


Kusandarkan punggungku ke dinding, tetes air mata membasahi tinta hitam di atas kertas putih yang ku pegang. Ku paksakan diri untuk membaca kalimat-kalimat surat yang masih belum terbaca.






Mala…, satu hal yang membuatku kagum padanya. Ia bercerita padaku, abahmu telah menuduhnya mencuri uang kan?. Mencuri uang milik abahmu. Itu memang benar. Tapi tahukah kamu alasan di balik itu semua?. Kamu masih ingat dengan biaya tambahan yang kamu minta pada mamakmu?.


Semua itu berawal dari kebiasaan abahmu memberikan uang yang tidak sesuai dengan yang kamu butuhkan, mungkin tidak cukup untuk kebutuhanmu di asrama, sedangkan ia menginginkan kamu hidup cukup di asramamu, mungkin kamu harus bekerja. Tapi, mamakmu lebih memilih dirinya yang bekerja dari pada kamu yang harus bersusah payah. Jalan keluarnya, Ia membantuku membuat kue-kue kering untuk memenuhi pesanan. Untunglah hasilnya mampu mencukupi kekuranganmu. Tapi, saat kamu meminta uang tambahan untuk keperluan kursus, ia tak mampu jika harus bekerja lebih keras lagi sementara abahmu melarang mamakmu keluar rumah tanpa seizinnya, apalagi keluar pada malam hari untuk membantu mengoven kue. Akhirnya, ia terpaksa mengambil uang abahmu, itupun hanya sekali dan tidak banyak, tapi, abahmu dengan penuh keangkuhannya tidak mau mendengarkan sedikit pun penjelasan mamakmu. Sungguh menyedihkan. Dan kudengar, satu bulan setelah mamakmu meninggalkan rumah, ia telah menikah lagi, semoga kepergian mamakmu bukan sesuatu yang memang ia rencanakan agar ia dapat menikah lagi.


Mala, aku harap kau berubah pikiran, mau memaafkannya. Ku harap dia masih ada di rumahku saat kau mencarinya nanti,


Sahabat mamakmu


Asih






Aku mulai sadar, pepatah benar. Cinta ibu sepanjang jalan, cinta anak hanya sepanjang galah. Aku bergegas berlari keluar kamar, aku berlari ke arah mobil. Kuputuskan untuk ke rumah sakit mencari data bu Asih. Aku ingin mencari alamat rumahnya, menjemput mamak dan bersujud di pangkuannya, memohon maaf atas kebodohan dan kebencian yang telah menguasaiku.


Aku terus melangkahkan kakiku. Namun saat aku tiba di teras rumah sakit, kepalaku terasa berat, langkahku mulai terhenti, mataku berkunang-kunang. Kulihat sosok wanita tersenyum lembut padaku dan membuka kedua tangannya ke arahku, tidak begitu jelas dan semakin lama semakin kabur, ku coba menggapai tangannya, mungkin dia mamakku, 10 tahun lalu, sekarang dan selamanya. Namun tiba-tiba saja semua yang ku lihat menjadi hitam, gelap….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar