Minggu, 12 Desember 2010

cinta kah?

Tiga malam ini aku menderita insomnia, terlalu sulit untuk memejamkan mata. Apalagi setiap aku pandangi foto mbak riris dan shila adikku. bukan karena aku rindu mereka, setiap saat aku bisa saja mengunjungi mereka. Tapi, ah, mungkin aku hanya terlalu capek dengan pekerjaanku. Perkataan yang selalu terucap jika aku tidak mampu menemukan penyebab insomnia yang aku derita, aku hanya berharap semoga tidak berkepanjangan.
Ku intip pintu kamar bunda, ternyata bunda masih terjaga. Ku hampirinya dengan langkah pelan.
“Bunda…”. Ku lihat ia memegangi foto almarhum ayah. Mungkin ibu merindukannya.
Bunda tersenyum lembut padaku, tangannya menarikku untuk duduk dan menemaninya.
“Bunda… rindu ayah?”. Ucapku lirih.
Bunda tersenyum lembut. “Bunda Cuma berdoa untuk ayah, ia bisa bahagia di sana dan jika saatnya nanti, bunda bisa tetap menjadi pendampingnya di sana”.
“Sebesar itukah cinta bunda pada ayah?”. Untuk kesekian kalinya bunda hanya tersenyum padaku.
“Sudah larut, kembalilah tidur…”. Ia matikan lampu kamarnya, dan aku pun kembali ke kamarku, tapi kemudian aku kembali…
“bunda…, aku tidur di sini”. Di samping bunda, aku merasa hangat dan tenang. Mataku mulai redup, akhirnya malam itu aku bisa tidur.
Keesokan harinya, seperti biasa, aku harus kembali sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan di kantor. Tapi aku merasa senang dengan pekerjaanku, aku ingat pesan ayah, jadikan pekerjaanmu sebagai ibadah, jadi aku harus senang. Tapi kadang, ada juga perasaan bosan jika hasil yang kuusahakan tidak maksimal, perfectionis orang bilang. Itulah aku, berharap segala sesuatu seperti yang kurencanakan, perfect… tapi, apa boleh buat, dunia bukan milikku dan aku tahu, aku tak berhak menentukan semuanya.
Sore harinya, sepulang dari kantor, kusempatkan duduk di kursi taman, hanya sekitar 10 meter saja dari rumah. Ku nikmati bunga-bunga yang bermekaran disinari matahari sore yang hendak terbenam. Kurasakan kesejukan, tapi seperti ada yang kurang…
“sendirian?”. Seorang laki-laki tua menghampiri dan duduk disampingku. Aku hanya diam dan tak menghiraukannya.
Tiba-tlba ia memberiku setangkai bunga mawar putih. Pandangan mataku terarah pada senyum diantara kerut pipinya.
“Ini untukmu… ambil saja, sayang kalau bunga seindah ini tidak ada yang memiliki…”.
“Maksud anda apa? Anda bermaksud menyindir saya?”. Celetukku.
Ia tersenyum mendengar kata-kataku. Seperti orang tua pada umumnya, selalu santai dan tersenyum.
“Kakek tidak bermaksud apa-apa. Sudahlah, sayang bunga ini jika dibuang, akan cocok sekali jika dipegang oleh si cantik jelita sepertimu”.
Naluriku sebagai wanita muncul, aku tersenyum kecil dalam hati mendengar kata-kata kekek itu. Tak dapat kupungkiri, inilah pertama kalinya aku diberi seseorang setangkai bunga. Untuk si cantik, banyak orang yang menyebutku seperti itu, tapi pasti disertai kata “tapi kok belum ada yang mau denganmu?”. Menyebalkan, tapi mereka mungkin saja sirik denganku. Itu yang selalu aku bisikkan dalam hati… ya, sekedar menyenangkan diri sendiri.
Kuterima bunga itu, ku paksakan bibirku untuk tersenyum meskipun sebenarnya aku sedang malas untuk tersenyum.
“Dari tadi kulihat kamu sendiri, sedangkan kulihat gadis-gadis yang duduk pasti disampingnya…”.
“Ada kekasihnya?. Itu maksud kakek?”. Sahutku ketus.
“ada anjing peliharaan atau kucing kesayangannya..!”. guraunya. Ku pandang matanya, sejenak aku tertawa kecil, pipiku memerah, malu. Ternyata aku baru sadar kalau terkadang aku mudah tersinggung.
Kakek itu namanya Hamid. Ia banyak bertanya tentangku, ternyata tak pernah kubayangkan bahwa kakek-kakek juga asik diajak ngobrol. Untuk kedua kalinya, aku baru sadar kalau terkadang aku meremahkan orang lain, aku jadi malu dengan diriku yang kelewat perfeksionis.
Waktu berlalu dengan cepat, bacaan ayat alquran mulai terdengar dari arah masjid terdekat dengan taman. Kami pun beranjak.
“Kakek… mampirlah ke rumah…”.
“iya, anakku, kapan-kapan saja… sampai ketemu lagi”. Ucapnya sambil melambaikan tangan.
Tangan kananku menenteng tas dan tangan kiriku memegang setangkai mawar putih dari kakek hamid. Akhirnya aku sampai di rumah...
Melihatku, bunda tersenyum padaku. Ia memandangku dengan pandangan menggoda.
“Bunda… bunda lihat apa? Kok melihatnya aneh”.
“Bunganya indah ya..”.
“oh ini?, ini bunga dari seorang kakek yang sarah temui di taman”.
“kakek… bukan kakek juga nggak papa. Bunda malah seneng..”.
“Sarah mandi dulu…”.
Ku alihkan pembicaraan. Dalam hati aku tahu apa yang diharapkan bunda padaku. Ku hela napas. Dadaku sedikit sesak, bunda… jangan buatku terbebani…
Entah ada angin apa, sebelum pulang kerja, aku mampir ke toko bunga dekat taman. Semenjak satu tahun yang lalu, aku tak pernah memberikan bunda bunga dalam pot. Namun siapa sangka, aku bertemu lagi dengan kakek hamid yang ku temui di taman beberapa hari yang lalu. Ia menyapaku dengan senyumnya.
“Ada kemajuan?. Beli bunga buat siapa sar?”.
“Bunda..”
Kulihat kakek itu berjalan sendiri dengan membawa seikat bunga mawar putih. Kulihat ia berjalan ke arah pemakaman umum. Kuikuti dia, karena aku sempat khawatir ia terjatuh saat menuruni tangga di pemakaman. Ia pegang bunga itu di tangan kanannya, tangan kirinya memegang erat tongkat kayu. Ia berjalan perlahan…
Ia tahu bahwa aku mengikutinya. Ia terkejut karena aku tepat di belakangnya beberapa langkah. Ia malah melambaikan tangannya dan memintaku ikut serta.
Tepat di sebuah makam, ia meletakkan bunga itu di atasnya.
“Istri kakek?”. Ucapku lembut.
Ia mengangguk pelan sambil tetap tersenyum. Tak biasanya kulihat seseorang yang masih bisa tersenyum saat mengunjungi makam pasangan hidupnya. Sejenak kami berdoa untuknya. Suasana begitu hening. Hanya tiupan angin dan daun yang berguguran meriuhkan alam. Kemudian, aku dengan keingintahuanku, menyela…
“Kakek… sarah boleh Tanya sesuatu?”.
Sekali lagi kakek mengangguk pelan dengan senyum kecil yang selalu menjadi ciri khasnya.
“Sarah lihat, kakek seperti tak ada sedikit pun kesedihan. Apakah karena.. nenek sudah lama pergi meninggalkan kakek?, maaf kek… ”. kami pun beranjak pergi. Ku bantu kakek naik belasan tangga.
“Apakah Cinta itu senang saat bersama dan sedih saat ditinggalkan?”. Aku yang merasa tidak pernah jatuh cinta pada seseorang sepanjang hidupku hanya bisa diam.
“Pernahkah kau mencintai? Apa yang kau rasakan?”.
Aku terdiam sejenak…
“Itulah aku. Aku merasa seperti orang yang tidak normal. Semua teman bahkan mungkin semua orang kantorku memiliki tambatan hati. Tapi aku… aku tak pernah merasa jatuh cinta”. Mendengar perkataanku, kakek memandangku dengan tatapan mata yang aneh. Sedetik ia menghentikan langkah.
“Aku… takut jatuh cinta… ya, mungkin karena aku takut jatuh cinta”.ku ulangi kata-kata itu sekali lagi.
“Aku takut dengan persoalan yang akan muncul dengan aku mencintai.”
Ia kembali menatapku, kali ini ia menatapku sambil menggelengkan kepalanya perlahan.
“Sarah… cinta itu anugrah, fitrah… kenapa kau takut? Jangan pernah takut. Tapi takutlah kau jika kau terlalu mencintai…”. Aku semakin tidak mengerti. Ku coba memutar otak, tapi tetap tidak mengerti. “Kenapa aku begitu bodoh jika berfikir tentang ini?”. Batinku.
“aku tak percaya jika kau tak pernah jatuh cinta…”. Ia berjalan meninggalkanku. Aku masih duduk di bawah pohon di dekat pemakaman umum itu. Beberapa menit berlalu dengan sia-sia. Tak juga kudapatkan pemecahan masalah yang kuhadapi ini. Aku bingung… untuk pertama kalinya aku dibingungkan oleh kata-kata love…
Berhari-hari aku tak pernah lagi bertemu dengan kakek hamid, saat aku ke toko bunga, sengaja aku mampir ke sana untuk mendapatkan pemecahan masalah itu, namun aku terkejut dan tetesan air mata tiba-tiba saja mengalir perlahan membaca sebait surat dari kakek hamid yang begitu banyak memberiku pelajaran dalam hidup.
………”trima kasih selama ini menjadi tempatku berbagi, namun usia, kita tak bisa memprediksi. Aku tahu kau pasti akan sedih. Dan kau tahu? Itu karena rasa sayangmu. Rasa kasih sayangmu kepada bundamu itu juga cinta… dan saat kau terima surat ini, mungkin kakek sudah bertemu dengan cinta sejati… tebarkan rasa kasihmu di mana pun kau berpijak. Tapi ingatlah… jangan terlalu mencintai… kecuali kepada Sang Cinta sejati…”
Aku pun mulai mengerti…

Rabu, 17 November 2010

MenTaRi...

Secarik kertas terselip di bawah vas bunga ruang kamar yang kini telah kosong.

Marita, tante Ami, tari minta maaf telah pergi tanpa pamit. Mentari cuma tak ingin terlalu lama merepotkan tante dan marita.apalagi setelah peristiwa itu yang membuang jauh semangat hidupku. Tapi kalian selalu berusaha membuatku kembali ceria, membujukku agar mau makan, tapi tak pernah ku hiraukan. Kalian adalah orang yang kan selalu ada di hati tari. Terima kasih atas semua kebaikan tante dan marita. Tari akan baik-baik saja.

Salam sayang

Mentari

”Ma, semoga tari akan baik-baik saja dan menemukan kembali semangat hidupnya yang telah terkubur”. Marita berharap.
”Iya, rumah ini juga akan terasa sepi tanpa canda tawanya lagi.”

Haru biru mengisi ruang hati yang perlahan mulai hampa karena kepergiannya. Dia yang telah menghilang di antara gelapnya malam. Namun sinarnya masih selalu membuat rembulan tetap bercahaya meski kesedihan telah meniupkan kabut untuk menutupinya.
Malam benar-benar semakin pekat, sementara sesosok tubuh lemah menyusuri trotoar dengan langkah gontai. Langkah kaki itu terus membawanya tanpa arah. Tak sedetikpun dalam benaknya terbesit kemana ia harus berlabuh, hingga saat tubuh lemahnya semakin rapuh, ia mulai tahu kemana ia harus pergi, mengubur semua kenangan pahit. Ia putuskan untuk kembali ke halaman di mana pertama kali ia melihat indahnya bintang yang berkilauan.
Di sebuah halte bus ia menanti sepi hanya bertemankan angin malam. Hingga tak lama kemudian bus yang ia tunggu datang. Di baris yang ketiga ia duduk. Di sebelah kaca jendela sambil terus memandang ke luar, tak henti-henti air matanya menetes.
Mungkin ia terlalu lelah, lampu-lampu jalan membuatnya terlelap. Sejenak ketenangan hati terurai dari wajahnya akan tetapi tiba-tiba ia terbangun, menangis. Di setiap tidurnya hanya ada bayang-bayang kelabu menghantui.
”Eh, kamu....ehm ..maaf saat aku menempati tempat duduk ini aku melihat kamu tertidur dan menggigil kedinginan dan kamu bersandar di bahuku. Tapi, aku tidak keberatan.”
Tari hanya terdiam, mata sayunya menatap pemuda itu dan melepas baju hangat yang menyelimuti tubuhnya.tak ada yang bisa dikatakannya, sebenarnya ia ingin mengucapkan terima kasih tapi...
”maaf, ku lihat kau begitu pucat seperti beberapa hari belum makan. Aku ada sedikit roti, ambil, buat kamu...”. Lagi-lagi tari hanya menggelengkan kepala.
”saat pertama kali ku melihatmu, ku kira kamu bintang kecilku dulu yang tiba-tiba menghilang, tapi ku pikir aku telah salah. Dia amat penceria, selalu bersemangat dan kadang cerewet juga jahil”. Seketika suasana menjadi hening, hanya terdengar suara-suara angin yang berhembus.

*****
Saat bias-bias sinar mentari mulai menembus awan, tari telah menginjakkan kakinya kembali ke kampung halamannya. Sejenak matanya tertuju pada sebuah rumah kecil asri, tak salah lagi di situlah ia pernah merasakan indahnya hidup bersama keluarga hingga saat waktu telah benar-benar menghapusnya.
” Tari, oalah nak, muleh... kamu kemana saja nak? Bude kangen nak sama kamu. Ayo masuk ke rumah dulu”. Sapa bude rima kakak ibu tari.
”sebelum bapakmu meninggal, dia berpesan padaku untuk merawatmu. Sudahlah Tar, anggap saja bude ini sebagai ibumu”. Jelasnya.
Tari hanya diam dan menganggukkan kepalanya pelan penuh keraguan. ”Ya Tuhan andai saja aku bisa seperti yang lainnya..”. Keluh hatinya.
Bude rima tiba-tiba membicarakan tentang kematian ayah tari. Ia berkata  bahwa sebenarnya ayah tari bunuh diri. Sebelum ia meninggal sempat bercerita bahwa ia terbelit hutang karena ternyata istri keduanya tak setulus hati mencintainya. Hanya ingin mengeruk harta kekayaan dan mempermainkan perasaan ayah tari.
Dalam benak tari terlintas kata ”seandainya aku ada menemani ayah, pasti....,  saat itu seharusnya aku tak pergi dari rumah. Harusnya ku temani ayah dan selalu menjaganya. Aku.... benar-benar tak berguna.”
Tiba-tiba kerapuhan jiwa yang hampir terbenam kembali muncul ke permukaan. Ia beranjak dari sofa, melangkah ke arah bukit di belakang rumah. Sejenak ia ingin sendiri. Sejenak ingin berteriak tapi tak bisa. Matanya kembali berkaca-kaca.
 ”Kalau aku tidak salah kamu yang ku temui di bus waktu itu kan?”. ucap seorang pemuda yang tiba-tiba muncul dan duduk di samping tari. Sebenarnya dalam hati kecil pemuda itu yakin bahwa tari adalah bintang kecilnya yang hilang.
”Setiap kali aku melihatmu kamu selalu menangis, kenapa? Mungkin kau menganggapku orang yang sok ikut campur, tapi aku hanya ingin membantumu, karena setiap kali ku melihat wajahmu selalu teringat bintang kecilku yang dulu tiba-tiba menghilang tanpa jejak”.
Tari hanya diam dan tak menoleh sedikitpun seolah ia hanya seorang diri di tempat itu.
”Mungkin aku bisa jadi teman, namaku numash. Aku tinggal di sekitar sini. Nama kamu?”. berbicara dengan tari hanya akan membuang-buang waktu, tak akan ada respon.
”Maaf kenapa setiap aku bertanya, kamu tidak pernah merespon perkataanku?”
Tari mengeluarkan buku dari tasnya, ia menuliskan ”Aku gadis bisu yang tak berguna, buat apa kau berteman denganku, hanya akan menyengsarakanmu, pergi!!”
”Kau...? maaf aku tak tahu kalau kamu...”
Tari kembali menuliskan ”puas kamu? Aku sedang ingin sendiri. Aku juga tak butuh belas kasihan. Aku akan berterima kasih kalau kau meninggalkan aku sendiri di sini.”
Numash pun meninggalkan tari sendiri di bukit itu.

*****

Keesokan harinya bude rima pergi ke rumah numash dan meminta tolong padanya agar membujuk tari makan dan pulang. Batin numash berbisik,”tari...,  mentari?!!”. Tak salah lagi ternyata gadis yang ia temui di bus dan di bukit itu adalah benar-benar mentari si bintang kecil yang telah lama menghilang dari hari-harinya.
Bergegas ia berlari ke bukit dan meneriakkan nama mentari. Senyum mengurai wajah numash, rona bahagia terlukis. Tapi mentari malah marah padanya dan memintanya pergi. ”Aku bukan mentari yang katamu penuh keceriaan, kuat, bersemangat. Semuanya sudah berubah, aku bisu dan tak berguna.” tulisnya.
”Kau salah, selama ini kau tetap bintang kecilku yang dulu, kau tetaplah sahabatku ada ataupun tiada dirimu”. Jelasnya.
”Bohong! Kau hanya kasihan padaku. Mana ada orang yang betah berteman sama orang bisu yang tak berguna sepertiku. Bahasa isyaratku pun tak pernah  dimengerti”. Mentari menuliskannya dengan mata berlinangan air mata.
”Mungkin orang lain tak mengerti bahasa isyaratmu, tapi aku... selalu pahami bahasa kalbumu. Sinar matamu pun aku bisa memaknainya, itu yang tak pernah kau sadari”. Sedetik tari memandang mata numash, ia menuliskan bahwa ia benci dengan keadaannya yang sekarang, bisu. Ia menuliskan dalam bukunya bahwa itu bermula saat ibunya diceraikan karena ayahnya telah menikah lagi. Tari dan ibunya pergi dari rumah, namun saat mereka tinggal di rumah kontrakan kecelakaan terjadi, rumahnya terbakar dan ibunya meninggal di tengah-tengah kobaran api. ”Tapi sebelumnya ibuku dianiaya sampai wajahnya hancur, aku melihat peristiwa naas itu karena aku bersembunyi di bawah kolong tempat tidur.Mungkin saat itu aku terlalu dini harus  menempa beban pikiran, hingga akhirnya aku trauma dan tak lagi bisa bicara. Aku tahu itu salahku, andaikata waktu itu aku mau mengikuti ajakan ibu pergi ke rumah bibi muna dan menginap di sana pasti semua tak akan begini. Gara-gara aku juga ayah bunuh diri, aku tak pernah menemaninya, kenapa aku tak pulang setelah ibu meninggal, malah aku tinggal bersama orang lain. Aku.... anak yang tak berguna”. Tangis yang hanya kan terbuang sia-sia terus saja menyelimuti penyesalan akan hal yang tak seharusnya ia sesalkan. Pikiran jernihnya telah tertutup oleh emosi yang membuatnya tak lagi mengingat bahwa semua kejadian adalah karena kehendakNya.
”Tari, aku sangat mengerti kesedihanmu, tapi cobalah kau lihat matahari di barat yang hampir tenggelam itu. Apakah selamanya mentari yang kau lihat pagi tadi begitu terang kan selalu terang? Ada senja yang kan berganti dengan malam. Apakah malam yang begitu pekat hanya akan membuat ketakutan? Ada rembulan dan bintang-bintang”. Mentari hanya diam dan menundukkan kepalanya, perlahan ia beranjak pergi.
”Mentari, kau mau pergi? Aku minta maaf  kalau ada kata-kataku yang menyakitkanmu”.
Ia hanya memberikan selembar kertas yang berisi tulisan ”Kau tak mengerti perih hatiku”.
Saat malam benar-benar telah mengganti hari, mentari duduk sendiri di tepi jendela kamarnya, ia pandangi bintang yang begitu indah malam itu, tapi tak jua secerca senyum menghiasi, ia terus memikirkan perkataan numash, ia tak mengerti makna perkataan itu. Namun entah kenapa setelah mendengar kata-kata itu, seolah ada sedikit ketenangan dalam hatinya.

*****

Sudah dua hari mentari tak bertemu numash di bukit itu, ia beranggapan mungkin numash tak akan lagi menemuinya, mentari yang tak seperti dulu.
Sementara itu numash ragu untuk melangkahkan kakinya ke bukit itu, sebenarnya ia selalu merasa hancur ketika ia harus melihat tangis mentari, mengetahui semua penderitaan hidupnya. Dan ia berniat tak menemaninya di bukit agar dia sadar akan kesalahannya yang selalu menganggap semua musibah yang menimpa keluarganya adalah semata-mata karena kesalahannya. Dia yang begitu larut dalam kerapuhan jiwa.
”aku sebaiknya menemuinya, aku takut terjadi sesuatu padanya”. Sambil beranjak ia menggumam. Namun ternyata...
”Mentari, kenapa kamu ke sini?”. Ucap numash yang dikagetkan dengan kedatangan mentari.
”Aku tak mengerti apa yang kau katakan lusa”. Tulisnya.
”Kau hanya akan mengerti jika kau telah benar-benar bisa untuk tak menyalahkan dirimu sendiri dan berfikir jernih”. Jawabnya dengan nada yang agak tinggi sambil membuang muka. ”Untuk apa kau masih di sini, bukannya kau sudah tak butuh aku lagi, aku yang tak pernah bisa mengerti perih hatimu”. Ucapnya sambil melangkahkan kaki dan beranjak pergi. ”maaf tar, aku hanya ingin kau mengerti dan kembali seperti dulu”. Bisik hati kecilnya.
Tari semakin tak mengerti, ia takut jika harus kembali kehilangan orang yang berarti dalam hidupnya karena kesalahan yang dibuatnya.
Tari kembali pulang, dibukanya album foto miliknya, dipandangi foto kedua orang tuanya yang kini hanya itu yang tersisa, terus dipandanginya. Sebentar ia menangis, kalap, berontak dan sebentar ia termenung. Sesekali ia pun tersenyum saat melihat fotonya bersama dengan numash sahabat kecilnya.
Setiap malam ia selalu merenungkan ucapan numash, tapi tak juga ia mengerti, terkadang kegalauan kembali menutupi hatinya, segara ia hapus dengan air wudhu. Hingga perkataan itu ditulisnya di selembar kertas, adakalanya ia merasa bodoh menghiraukan perkataan itu, perkataan yang mungkin tiada makna. Namun di lubuk hatinya yang terdalam ia yakin ada banyak makna di balik kata-kata itu.

*****

 Suatu hari saat matahari masih mengintip di balik gunung, mentari pergi ke puncak bukit, sesampainya di bukit ia tuliskan kata-kata itu. ”Tak selamanya mentari yang kau lihat pagi tadi terang kan selalu terang. Ada saatnya berganti senja yang kan menjadi malam. Dan malam takkan selalu membuatmu ketakutan karena ada bintang dan rembulan”.ia pun menuliskan ” aku takkan selamanya dalam kesedihan, ada saatnya aku harus bahagia, begitu pula sebaliknya. Tiada yang sempurna di dunia ini.Tak selamanya manusia itu benar, pasti juga pernah berbuat salah, dan kesalahan itu bukan untuk disesali dengan berlarut-larut dalam kesedihan serta bertindak bodoh, tapi bagaimana menyikapi agar hari esok lebih baik, seperti malam yang tak harus menjadikanku takut tapi menenangkan hati karena ada bintang dan rembulan.....”.
”ya, karena ada bintang dan rembulan”. Sahut numash yang ternyata telah ada di bukit itu sejak tari menuliskan semua kata-kata itu.
”Meski terkadang mereka tak hadir dalam malammu, yakinlah ada bintang-bintang lain yang kan selalu temanimu di sini...”. tambahnya sambil meletakkan tangan kanannya di dada.
Mentari tersenyum kembali dan sinar mata yang telah lama redup kembali terang.
”iya, kan ada orang-orang yang kan terus menyayangimu dan mengisi hari-harimu. Senyumlah... senyummu kembalikan semangatku yang juga hampir sirna. Kau harus selalu ingat ada aku yang selalu mengerti bahasa kalbumu, mengerti makna sinar matamu dan selalu berdoa untukmu disaat orang lain tak mengerti akanmu. Meski aku mungkin tak selalu ada untukmu”.
Bintang kecil yang dulu tiba-tiba menghilang telah kembali bersinar bahkan lebih terang.mereka lalui hari itu dengan penuh keceriaan, berlarian di tengah hamparan padang rumput, memandang langit sore dari puncak bukit, menikmati  rembulan dan bintang di tengah pekatnya malam, begitu indah.

*****

Pagi, saat mentari terbangun dari tidurnya, serangkaian bunga ada di samping mentari, bertuliskan ”bintang kecilku, aku harap kamu selalu ingat yang ku katakan kemarin dan selalu tersenyumlah..indah senyummu mencairkan kebekuan hati”. bergegas tari berlari ke rumah numash, ternyata sudah terlambat, ia sudah pergi ke stasiun. Ia pun segera menyusulnya, namun kereta api yang ditumpangi numash mulai meninggalkan stasiun.
”Aku terlambat. Numash...”. batinnya. Namun tak sengaja matanya menangkap sesosok sahabatnya itu, ingin ia berteriak, terus berusaha ”Ayolah aku harus bisa...”. tekad yang begitu kuat dan keyakinannya akan sebuah kekuatan hati membuatnya......
”Nu...nu...numa..num.... nu... numaaaaaaaash......numaaaaaash... doaku menyertaimu!!!”. teriaknya sambil melambaikan tangan.
”jangan pernah bersedih lagi, bintang kecilku...!!!”. teriak numash membalas.
”Terima kasih Tuhan, akhirnya aku bisa berbicara seperti dulu lagi.
Dalam perjalanan pulang ia tak sengaja membaca lembaran majalah yang disodorkan loper padanya.
”Numash?!, vokalis group band ternama? Dengan lagu andalannya “mentari”?. Mentari hanya tersenyum kecil. Siapapun kamu, aku tak peduli kau pemulung, penari atau bahkan penyanyi ngetop, kamu tetap sahabat yang selalu berarti dalam hariku. Karena baru kusadari kau memang rembulan yang selalu menghapus ketakutan dalam pekatnya malam, numash.....”.

Selasa, 16 November 2010

SalAmah alBab siTe: senyum kecil gadis bercadar hitam

SalAmah alBab siTe: senyum kecil gadis bercadar hitam: "“Bunda…..”. suara teriakan memecahkan keheningan pagi kala semua orang mulai berbondong-bondong ke tempat peraduan.”Bunda....”, sekali lagi ..."

senyum kecil gadis bercadar hitam

“Bunda…..”. suara teriakan memecahkan keheningan pagi kala semua orang mulai berbondong-bondong ke tempat peraduan.
”Bunda....”, sekali lagi teriakan itu beradu bersama kicauan burung kenari.
”Aduuuh, kok nggak ada yang ngebangunin aku sih, ini udah jam 6.30 pagi, untung aja aku lagi dapet so nggak sholat shubuh. Hari ini hari pertamaku di sekolah baru, masak aku telat, aku mesti cepet-cepet mandi, tapi....., mandi nggak ya? Ntar telat lagi, mandi, nggak, mandi, nggak...... yups nggak usah mandi, cewek cantik nggak mandi juga tetep cantik, cukup cuci muka plus gosok gigi, he....”. ujarnya sambil tersenyum di depan cermin.

Beberapa saat kemudian, ia pun siap berangkat ke sekolah barunya. Tapi sepertinya tak ada satupun orang di rumah itu, Pak Andra, sang kepala keluarga seperti biasa harus pergi ke kantor pagi karena jarak kantor ke rumah harus ditempuh selama 30 menit. Sedangkan Bu Arin seorang dokter spesialis anak yang membuka praktek di rumah lamanya. Bu arin memang enggan bekerja di rumah sakit, sedih jika sedikit waktu yang bisa ia luangkan untuk kedua putrinya. Si sulung Jewel namanya. Saat ini ia duduk di bangku SMA dan adiknya yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak.
Akhirnya gadis periang itu berangkat naik angkot meskipun harus dengan raut muka yang sedikit manyun, padahal saat ia di rumah neneknya setiap hari ia diantar ke sekolah meskipun dengan sepeda motor.
Jewel memang gadis yang beruntung, begitu banyak pelajaran yang ia dapatkan setiap hari dari seorang bunda terutama pelajaran akhlak. Kiranya usaha ibundanya tak hanya sekedar angin, tapi satu hal yang belum berhasil, membuat Jewel mau dan senang memakai kerudung atas kesadarannya sendiri.
”Aah..... akhirnya dapet angkot juga, penuh-penuh dikit nggak papa deh, yang penting masih bisa duduk...”. batinnya.
Namun beberapa saat kemudian seorang nenek-nenek menstop angkutan itu, tapi terpaksa ia duduk di pinggir pintu, jewel tak sejahat itu memmbiarkan nenek-nenek duduk di bangku itu, spontan jewel memintanya duduk di bangku tempat jewel bisa duduk dengan nyaman.
”Nek, duduk di sini aja, biar saya yang di situ.....”. Pintanya.
”Terima kasih ya nak...!”, jawabnya.
”ah, lega bisa membantu orang lain yang membutuhkan bantuan.”, batinnya.
Selang beberapa waktu kemudian seorang siswa menstop angkot itu, karena tinggal satu tempat duduk lagi yang belum terisi, akhirnya siswa itu duduk di samping jewel di pinggir pintu.
”Eh, bisa minta tolong geser dikit nggak?”, pintanya.
Memang bangku itu kecil, jadi wajar kalau cowok di sampingnya itu cuma bisa geser sedikit.
”Iiih...., aku nggak nyaman duduk di samping cowok ini, mana nggak mau geseran tempat duduk lagi, uuuh dasar cowok yang nggak mau ngalah, amit amit deh punya temen yang model begini, kagak mau ngalah.”. gerutunya.

Tapi untunglah tak lama kemudian jewel sampai di sekolah barunya itu. Ternyata cowok di sampingnya itu juga siswa di sekolah itu, bahkan merekapun seperti anggota paduan suara saat menstop angkot itu agar tepat berhenti di depan sekolah.” Kiri Paaak....”
Menyenangkan, teman-teman baru menyambut kedatangannya dengan senyum lebar dan akrab.
”Teman-teman perkenalkan nama saya Andrina Jewel, biasa dipanggil jewel, saya pindahan dari SMA Tunas Bangsa, saya tinggal di Perum. Istana damai.”. Jelasnya.
”Baiklah, ibu ucapkan terima kasih atas perkenalan jewel juga perhatian anak-anak. Oh ya jewel, kamu duduk di sebelah Citra di depan Venus.”
”Trima kasih bu..”. sahutnya
Jewel pun berkenalan dengan teman-teman barunya, namun saat ia berbicara dengan Citra, seseorang memotong pembicaraan mereka.
”O...jadi namamu jewel ya? Nggak nyangka ya bisa ketemu lagi sama cewek yang wajahnya mengkerut gara-gara nggak dapet tempat duduk.... he,he.. bercanda kok...., namaku Venus...”
”Kayaknya nggak tanya deh, lagian siapa yang wajahnya mengkerut, bukannya malah kamu?”  balas jewel yang cerewetnya mulai kumat.
”E,e...., baru kenal bukannya akrab malah kayak Tom and Jerry..”. sela citra
”hem...he..he...”. tawa kecil menghiasi bibir jewel dan kedua teman barunya yang sepertinya bakalan jadi teman akrab jewel.

Beberapa minggu kemudian, saat jewel berjalan sendiri melintas di depan swalayan dekat rumahnya. Tiba-tiba tasnya ditarik seseorang dari belakang, membuatnya terseret.
”Jewel, jewel... dari tadi aku panggil-panggil nggak nengok, kamu mau ke mana?”venus mengintrogasi.
”Ya pulanglah, ”. Jawabnya singkat.
Mereka berjalan beriringan, sebentar-sebentar jewel berhenti dan bertanya pada venus
”Venus, kamu sebenarnya mau kemana sih? Dari tadi ngikutin aku melulu”. Tanyanya.
”Emang aku nggak boleh lewat sini?, lagian ngapain juga ngikutin kamu, aku tuh juga mau pulang”. Jelasnya.
”Emang rumah kamu...?”.
”Tuh...., see you tomorrow jewer.....”. sahutnya sambil mengacak-acak rambut jewel yang pendek.
”hei...namaku jewel...!”. protesnya sembari merapikan kembali rambutnya yang acak acakan.
”daa jewer...”. ucapnya, kemudian ia berlari ke arah rumah sederhana dengan taman bunga yang begitu luas dan indah.
”Apa kamu bilang? Jewer?, awas ya besok bener-bener aku jewer kamu…”. Teriaknya.
“Aku nggak tau kalau rumahnya di sini, tau gitu kemarin kemarin aku datang ke rumahnya buat ngerjain PR Matematika, dia kan juara kelas. Seneng juga ya kalau punya temen yang otaknya berkualitas, bisa minta ajarin tanpa dipungut biaya, he...he....”. Batinnya sambil tertawa-tawa sejenak.
Jewel mulai merasa kerasan belajar di sekolahnya itu apalagi teman- teman yang menyenangkan ada di sisinya menemaninya dalam suka maupun duka, venus adalah teman yang jewel rasa paling bisa menerbitkan kembali keceriaan yang terkadang sempat tenggelam. Itulah teman yang ia cari. Sampai pada suatu pagi....
”Pagi venus...!”. Seperti biasa jewel hobi mengacak acak rambut venus yang selalu rapi, tapi aneh pagi itu ia sama sekali tak membalasnya. Ia hanya menjawab ”Pagi....” dengan nada yang rendah.
”Ve, kamu kenapa? Lagi ada masalah? Cerita dong ve..”.ujarnya sambil perlahan duduk di hadapan venus.
”Aku nggak papa kok jew,”.
”Kamu bilang nggak papa, matamu nggak bisa bohong ve, please...., jujur sama aku ve..!”
”Jew, ternyata aku bukan anak ibuku. Aku anak pungut, aku sedih karena nggak pernah tau gimana rasanya peluk sayang dari seorang ibu yang sudah mengandungku selama sembilan bulan. Dan aku mulai sadar kenapa ayahku lebih sayang pada adikku, bahkan aku sering dipukuli ketika ibu nggak ada, aku juga pernah dihukum dikunci di gudang dua hari hanya gara-gara lupa menaruh kunci sepeda motor. Sedih aku jew... orang tuaku pasti nggak akan menyakitiku seperti itu, tapi ternyata mereka malah  lebih jahat telah membawaku ke panti asuhan, meninggalkanku, membiarkanku sendiri hingga aku ada disini sekarang......”. Jelasnya sambil meneteskan air mata yang tertahan.
”Venus, aku mengerti semua yang kamu rasakan, tapi jangan pernah menyalahkan apa yang sudah terjadi, jangan pernah pula menyalahkan orangtuamu yang dulu telah mengirimmu ke panti asuhan, aku yakin pasti mereka punya alasan untuk itu. Dan satu hal, nggak mungkin ada orangtua yang nggak sayang anaknya”. Tegasnya.
Mendengar kata-kata jewel, venus hanya terdiam dan tertunduk.
”Semenjak awal aku kenal kamu aku yakin kamu seorang pemaaf, anggaplah segala yang terjadi adalah ujian kedewasaan buat kita dan orangtua yang mengasuhmu sedari kecil hingga sekarang juga orang tua yang wajib kamu hormati, mereka sebenarnya pasti juga menyayangimu buktinya segala kebutuhanmu mereka cukupi, masih banyak anak-anak yang tak seberuntung kamu, jadi anak jalanan. Aku yakin mereka juga pasti bangga punya anak seperti kamu, selalu jadi juara dan bintang di sekolah ini, dan satu hal jangan pernah merasa sepi karena aku akan selalu .....
Spontan venus mengusap air mata jewel yang ikut menetes, bening, sebening kasih sayangnya pada sesama.
”Jew, kamu memang sahabat terbaikku, aku akan berusaha selalu ada dalam tangis dan tawamu...”. ucapnya sambil menguraikan senyum lega.
”Andai saja sampai nanti aku ditemani wanita sepertimu, pasti tak akan ada kesedihan yang mengusik hidupku”. Tambahnya.
”kamu ngomong apaan sih?, udah wudlu sana gih, biar pikiran tenang!”. perintah jewel untuk mengalihkan pembicaraan.
***

Satu tahun telah berlalu, usia jewel pun genap 17 tahun, di hari ulang tahunnya, venus, ayah bundanya mengadakan pesta kecil-kecilan . di usianya yang ke-17 itu, ibunda jewel mengajukan permohonan yang sebenarnya begitu sulit untuk diucapkan, yang bunda jewel harapkan jewel bisa mengerti dan melaksanakannya tanpa terpaksa.
”Jewel, sebenarnya bunda benci untuk mengatakan ini, sejak kamu duduk di bangku SMA, bunda berharap kamu mempunyai kesadaran untuk....”
”Bunda, jewel tau, jewel juga akan memulai mengenakan kerudung besok di hari pertama jewel masuk ke kelas dua.”
”Mendengar kata-katamu, bunda jadi lega, ternyata kamu benar-benar memiliki kesadaran untuk itu.”. Ucap bundanya.
”Ya bunda, jewel sudah merenung, mana yang harusnya jewel perbuat, selama ini jewel sudah lalai untuk menutup aurat akan lebih baik jika saat itu jewel bisa mengerti”. Sesalnya.

Di awal masuk ajaran baru, jewel hadir dengan penampilan barunya. Ia tampak begitu cantik dan anggun dengan seragam panjang juga kerudung muslimahnya.
”Jewer...,eh, jewel!”...sapa venus.
“Pagi….., pa kabar ve?. Tanya jewel sambil tersenyum.
”I...iya baik. Jew, jujur aja, aku jadi sungkan sama kamu, penampilan barumu menurutku memunculkan sebuah aura, kamu juga terlihat jadi cantik…”
“Kamu menghina ya…, berarti sebelumnya aku nggak cantik dong...?”
”Sorry, tambah cantik, sedikit sih....”. hibur venus.
”Huh dasar venus nggak pernah sekali aja ngasih komentar bagus buatku, gengsi ya?”.
Mendengarnya venus hanya terkekeh-kekeh.
Teeeet....teeet....., bel masuk berbunyi
“masuk yuuk……”. Ajak jewel

Semenjak ia berpenampilan baru, ia agak pendiam, malas ngegosip dan mulai menjaga diri dari perilaku-perilaku yang tidak baik. Di kelas ia juga nggak lagi suka bikin ulah.
Pulang sekolah venus menunggu jewel di depan gerbang sekolah,ibunda jewel senang jewel berteman dengan venus, beliaupun meminta venus untuk menjaga dan melindungi serta mengingatkan jewel karena di mata bundanya jewel masih sangat kekanak-kanakan, tapi di mata venus jewel adalah sahabat terbaik dalam hidupnya dan cara berpikirnya jauh lebih dewasa dari dirinya, meski persahabatan mereka begitu akrab tapi mereka juga tau batasan-batasannya.
”Jewel, pulang yuk....”. ajak venus sambil menarik tangannya.
”venus....!?, ucapnya mengingatkan kalau mereka bukan muhrim.
”Oh iya sorry, ” jawabnya tersipu.
”Tunggu apa lagi? Ayo pulang!”
”Yuk....!”.

Dua tahun lamanya mereka menjalin persahabatan, tak ada masalah yang berarti hingga mengancam persahabatan mereka, mereka berdua saling pengertian,saling melindungi juga mengingatkan. Namun saat mereka naik ke kelas tiga....
”Jew, aku ngerasa aneh, kenapa akhir-akhir ini kamu selalu menjauh dariku, aku punya salah ke kamu? Bilang apa salahku...”
”Nggak ada yang salah, aku biasa aja, tetap jewel yang dulu”. Ungkapnya mengelak.
”Tetap jewel yang dulu? Nggak, setiap kali aku tunggu kamu di gerbang, kamu selalu pulang duluan, berangkat juga duluan, kenapa?”. tanya venus serius.
”Aku, aku Cuma nggak ingin tergantung terus sama orang lain, aku pingin bisa mandiri, itu saja!”.
”Mandiri bukan berarti kamu tidak butuh bantuan orang lain kan, aku nggak mau kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu.”
”Tapi......”. tanpa berkata sepatah kata lagi ia meninggalkan venus karena tak tahan lagi membendung air mata.”

Kenapa kubiarkan butiran air mata
Basahi
Setitik ketegaran
Juga setetes harapan
Yang teralir dalam kemurnian

Sebenarnya jewel juga menyayangkan jika persahabatannya putus, tapi yang ia pikirkan cuma takut kalau nantinya venus sedih harus berpisah dengannya, dan jewel juga nggak mau terlalu larut dalam kesedihan ketika venus harus pergi dari sisinya.
Setiap hari, di depan pintu rumah jewel ada setangkai mawar putih dan secarik kertas permintaan maaf venus. Melihat semua itu bunda jewel menyarankan jewel untuk menemui venus dan mengatakan semua yang jewel takutkan. Jewel pun mengikuti saran ibundanya.
Perlahan ia melangkah hingga sampai di depan rumah venus, venus pun menyambutnya dengan senyuman yang lebar dan kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
”Jewel, akhirnya kamu datang!”. sambut venus dengan wajah yang berseri.
”venus, aku nggak lama kok. Aku mau minta maaf sama kamu, aku sudah banyak mengganggu pikiran kamu.”
”nggak, kamu nggak salah. Aku malah seneng kamu datang kesini.”
”ve, apa kamu masih menganggapku sahabatmu?”
”kenapa kamu bertanya seperti itu?”
”Ve, aku sangat berterima kasih selama ini kamu udah begitu baik sama aku, tapi... bagaimana seandainya tiba-tiba kita berpisah?”. ungkap jewel sedih.
Menanggapi kata-kata jewel, venus tersenyum.
”Jew, aku begitu menyayangimu seperti adikku sendiri meski dulu sempat terlintas keinginan untuk menjadikanmu sebagai kepingan hatiku tapi kutahu itu yang malah membuat persahabatan kita hancur. Aku nggak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu, aku selalu merasa kamu adalah anugerah yang terindah yang pernah kumiliki, kau sosok yang membuatku mengerti kasih sayang orang tua kepada anaknya, indahnya persahabatan dan banyak hal yang sebelumnya tidak aku mengerti, apakah aku akan begitu saja melepasmu? Tidak, satu hal yang kau lupa, kau pernah mengatakan padaku bahwa sejauh apapun jarak memisah raga kita, hati kita tetap dekat, itulah sahabat.” Jelasnya.
”kamu benar, persahabatan tidak hanya ada saat kita bersama, sekalipun kita berpisah, kita tetap sahabat. Aku akan kabari kalau aku nanti sampai di Madinah. Ayah memintaku kuliah disana.”
”aku akan selalu merindukan saat-saat kita di SMA. Aku yakin kamu bisa mandiri juga pandai menjaga diri....”. Ujarnya dengan pandangan mata yang sayu.
”Aku juga akan rindu saat-saat kebersamaan kita, besok pagi aku berangkat, doakan selamat sampai tujuan, juga sampai saat aku kembali nanti”. Jewel pamit, ia berharap itu bukanlah untuk terakhir kalinnya mereka bertemu. Sambil meneteskan air mata ia beranjak pergi dari tatapan mata sahabatnya itu.

Atas saran ibundanya, akhirnya persahabatan mereka tetap terjalin.
Keesokan harinya, sebelum berangkat, ia menunggu-nunggu kehadiran venus untuk sekadar melambaikan tangan, tapi ternyata ia tak datang, ia sedih jika melihat jewel pergi, tapi itulah sebuah pilihan.
Sebelum berangkat, jewel menitipkan sebuah kado untuk venus, isinya adalah foto mereka saat menonton pertandingan sepak bola, mereka mengenakan kostum yang sama dan beberapa baris puisi.

Sendiri
Takkan berarti sepi
Pisah
Takkan berarti resah
Karena sepi dan resah
Buah dari gundah
Yang kan jadikan pelangi
Tak lagi indah 
***

Enam tahun kemudian, jewel pulang ke indonesia, tapi sayangnya rumah venus telah ditempati orang lain, ia sudah pindah. Tapi siapa yang bisa menghalangi taqdir, waktu itu hujan turun sangat derasnya, jewel menunggu bus di halte bus, sendiri. Tiba- tiba datang seorang pemuda seusianya duduk di ujung bangku halte, tak sengaja jewel menatapnya, pemuda itu pun menatap sekilas mata jewel, ia berkata dalam hatinya,”tatapan mata wanita bercadar itu sepertinya tak asing lagi bagiku, tapi aku tak pernah punya teman yang bercadar”. Begitu pula jewel, ia langsung bisa mengenali pemuda itu ....tak salah lagi itu adalah sahabatnya,venus. Namun karena sebuah pilihan lagi, ia harus rela tak menghampiri dan bercakap-cakap dengannya, sebenarnya ia merindukan canda tawanya, tapi ia sudah begitu bersyukur bertemu dengannya, ia hanya mampu tersenyum bahagia melihat sahabatnya baik-baik saja.     
Tampak pula pemuda itu melihat dan mengingat sinar mata wanita di balik cadar yang rasanya tak asing lagi.
Beberapa saat kemudian pemuda yang tak lain adalah venus itu melangkahkan kakinya perlahan ke arah jewel, namun segalanya telah diatur, bus datang.... jewel segera beranjak,
”anda....., sepertinya...., anda......”ucap venus ragu.
Jewel hanya tersenyum kecil, membuat venus semakin yakin…
“dia pasti… jeee..weeee..lll, jewel
Namun ia terlambat karena bus yang jewel tumpangi melaju dengan cepat. Jewel tinggallah kenangan, namun akan tetap di hati, entah apakah di dunia mereka masih akan dipertemukan, Segalanya ada pada KehendakNya.

Minggu, 14 November 2010

my first inspiration............

Surat untuk sahabat…
Sahabatku tersayang, masihkah engkau mengingatku? Seorang sahabat yang selalu kau perhatikan. Betapa pun aku sering membuatmu kesal karena kekanakanku.
Sahabatku…

Aku teringat saat kau selalu menegurku ketika aku berbuat salah, tapi aku marah dan berkata “untuk apa kau campuri urusanku?”. Dan aku juga tak pernah mendengarkan saranmu karena aku merasa bukan anak-anak lagi yang harus selalu dituntun. Tapi kau… tak pernah bosan untuk tetap mencurahkan perhatianmu.
Sahabatku tersayang…
Saat ini aku mulai sadar, saat aku jauh darimu, tak ada lagi orang yang membantuku berdiri saat terjatuh, tak ada yang memegang tanganku erat saat aku takut, dan tak ada lagi yang membangunkanku di saat mentari pagi mulai menyinari.
Sahabat…
Terima kasih atas semua waktu yang kau luangkan untukku…
Terima kasih untuk semua cinta yang kau berikan untukku…
Senyummu adalah bahagia untukku

Sahabat terbaikku…. Ibu.