Tiga malam ini aku menderita insomnia, terlalu sulit untuk memejamkan mata. Apalagi setiap aku pandangi foto mbak riris dan shila adikku. bukan karena aku rindu mereka, setiap saat aku bisa saja mengunjungi mereka. Tapi, ah, mungkin aku hanya terlalu capek dengan pekerjaanku. Perkataan yang selalu terucap jika aku tidak mampu menemukan penyebab insomnia yang aku derita, aku hanya berharap semoga tidak berkepanjangan.
Ku intip pintu kamar bunda, ternyata bunda masih terjaga. Ku hampirinya dengan langkah pelan.
“Bunda…”. Ku lihat ia memegangi foto almarhum ayah. Mungkin ibu merindukannya.
Bunda tersenyum lembut padaku, tangannya menarikku untuk duduk dan menemaninya.
“Bunda… rindu ayah?”. Ucapku lirih.
Bunda tersenyum lembut. “Bunda Cuma berdoa untuk ayah, ia bisa bahagia di sana dan jika saatnya nanti, bunda bisa tetap menjadi pendampingnya di sana”.
“Sebesar itukah cinta bunda pada ayah?”. Untuk kesekian kalinya bunda hanya tersenyum padaku.
“Sudah larut, kembalilah tidur…”. Ia matikan lampu kamarnya, dan aku pun kembali ke kamarku, tapi kemudian aku kembali…
“bunda…, aku tidur di sini”. Di samping bunda, aku merasa hangat dan tenang. Mataku mulai redup, akhirnya malam itu aku bisa tidur.
Keesokan harinya, seperti biasa, aku harus kembali sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan di kantor. Tapi aku merasa senang dengan pekerjaanku, aku ingat pesan ayah, jadikan pekerjaanmu sebagai ibadah, jadi aku harus senang. Tapi kadang, ada juga perasaan bosan jika hasil yang kuusahakan tidak maksimal, perfectionis orang bilang. Itulah aku, berharap segala sesuatu seperti yang kurencanakan, perfect… tapi, apa boleh buat, dunia bukan milikku dan aku tahu, aku tak berhak menentukan semuanya.
Sore harinya, sepulang dari kantor, kusempatkan duduk di kursi taman, hanya sekitar 10 meter saja dari rumah. Ku nikmati bunga-bunga yang bermekaran disinari matahari sore yang hendak terbenam. Kurasakan kesejukan, tapi seperti ada yang kurang…
“sendirian?”. Seorang laki-laki tua menghampiri dan duduk disampingku. Aku hanya diam dan tak menghiraukannya.
Tiba-tlba ia memberiku setangkai bunga mawar putih. Pandangan mataku terarah pada senyum diantara kerut pipinya.
“Ini untukmu… ambil saja, sayang kalau bunga seindah ini tidak ada yang memiliki…”.
“Maksud anda apa? Anda bermaksud menyindir saya?”. Celetukku.
Ia tersenyum mendengar kata-kataku. Seperti orang tua pada umumnya, selalu santai dan tersenyum.
“Kakek tidak bermaksud apa-apa. Sudahlah, sayang bunga ini jika dibuang, akan cocok sekali jika dipegang oleh si cantik jelita sepertimu”.
Naluriku sebagai wanita muncul, aku tersenyum kecil dalam hati mendengar kata-kata kekek itu. Tak dapat kupungkiri, inilah pertama kalinya aku diberi seseorang setangkai bunga. Untuk si cantik, banyak orang yang menyebutku seperti itu, tapi pasti disertai kata “tapi kok belum ada yang mau denganmu?”. Menyebalkan, tapi mereka mungkin saja sirik denganku. Itu yang selalu aku bisikkan dalam hati… ya, sekedar menyenangkan diri sendiri.
Kuterima bunga itu, ku paksakan bibirku untuk tersenyum meskipun sebenarnya aku sedang malas untuk tersenyum.
“Dari tadi kulihat kamu sendiri, sedangkan kulihat gadis-gadis yang duduk pasti disampingnya…”.
“Ada kekasihnya?. Itu maksud kakek?”. Sahutku ketus.
“ada anjing peliharaan atau kucing kesayangannya..!”. guraunya. Ku pandang matanya, sejenak aku tertawa kecil, pipiku memerah, malu. Ternyata aku baru sadar kalau terkadang aku mudah tersinggung.
Kakek itu namanya Hamid. Ia banyak bertanya tentangku, ternyata tak pernah kubayangkan bahwa kakek-kakek juga asik diajak ngobrol. Untuk kedua kalinya, aku baru sadar kalau terkadang aku meremahkan orang lain, aku jadi malu dengan diriku yang kelewat perfeksionis.
Waktu berlalu dengan cepat, bacaan ayat alquran mulai terdengar dari arah masjid terdekat dengan taman. Kami pun beranjak.
“Kakek… mampirlah ke rumah…”.
“iya, anakku, kapan-kapan saja… sampai ketemu lagi”. Ucapnya sambil melambaikan tangan.
Tangan kananku menenteng tas dan tangan kiriku memegang setangkai mawar putih dari kakek hamid. Akhirnya aku sampai di rumah...
Melihatku, bunda tersenyum padaku. Ia memandangku dengan pandangan menggoda.
“Bunda… bunda lihat apa? Kok melihatnya aneh”.
“Bunganya indah ya..”.
“oh ini?, ini bunga dari seorang kakek yang sarah temui di taman”.
“kakek… bukan kakek juga nggak papa. Bunda malah seneng..”.
“Sarah mandi dulu…”.
Ku alihkan pembicaraan. Dalam hati aku tahu apa yang diharapkan bunda padaku. Ku hela napas. Dadaku sedikit sesak, bunda… jangan buatku terbebani…
Entah ada angin apa, sebelum pulang kerja, aku mampir ke toko bunga dekat taman. Semenjak satu tahun yang lalu, aku tak pernah memberikan bunda bunga dalam pot. Namun siapa sangka, aku bertemu lagi dengan kakek hamid yang ku temui di taman beberapa hari yang lalu. Ia menyapaku dengan senyumnya.
“Ada kemajuan?. Beli bunga buat siapa sar?”.
“Bunda..”
Kulihat kakek itu berjalan sendiri dengan membawa seikat bunga mawar putih. Kulihat ia berjalan ke arah pemakaman umum. Kuikuti dia, karena aku sempat khawatir ia terjatuh saat menuruni tangga di pemakaman. Ia pegang bunga itu di tangan kanannya, tangan kirinya memegang erat tongkat kayu. Ia berjalan perlahan…
Ia tahu bahwa aku mengikutinya. Ia terkejut karena aku tepat di belakangnya beberapa langkah. Ia malah melambaikan tangannya dan memintaku ikut serta.
Tepat di sebuah makam, ia meletakkan bunga itu di atasnya.
“Istri kakek?”. Ucapku lembut.
Ia mengangguk pelan sambil tetap tersenyum. Tak biasanya kulihat seseorang yang masih bisa tersenyum saat mengunjungi makam pasangan hidupnya. Sejenak kami berdoa untuknya. Suasana begitu hening. Hanya tiupan angin dan daun yang berguguran meriuhkan alam. Kemudian, aku dengan keingintahuanku, menyela…
“Kakek… sarah boleh Tanya sesuatu?”.
Sekali lagi kakek mengangguk pelan dengan senyum kecil yang selalu menjadi ciri khasnya.
“Sarah lihat, kakek seperti tak ada sedikit pun kesedihan. Apakah karena.. nenek sudah lama pergi meninggalkan kakek?, maaf kek… ”. kami pun beranjak pergi. Ku bantu kakek naik belasan tangga.
“Apakah Cinta itu senang saat bersama dan sedih saat ditinggalkan?”. Aku yang merasa tidak pernah jatuh cinta pada seseorang sepanjang hidupku hanya bisa diam.
“Pernahkah kau mencintai? Apa yang kau rasakan?”.
Aku terdiam sejenak…
“Itulah aku. Aku merasa seperti orang yang tidak normal. Semua teman bahkan mungkin semua orang kantorku memiliki tambatan hati. Tapi aku… aku tak pernah merasa jatuh cinta”. Mendengar perkataanku, kakek memandangku dengan tatapan mata yang aneh. Sedetik ia menghentikan langkah.
“Aku… takut jatuh cinta… ya, mungkin karena aku takut jatuh cinta”.ku ulangi kata-kata itu sekali lagi.
“Aku takut dengan persoalan yang akan muncul dengan aku mencintai.”
Ia kembali menatapku, kali ini ia menatapku sambil menggelengkan kepalanya perlahan.
“Sarah… cinta itu anugrah, fitrah… kenapa kau takut? Jangan pernah takut. Tapi takutlah kau jika kau terlalu mencintai…”. Aku semakin tidak mengerti. Ku coba memutar otak, tapi tetap tidak mengerti. “Kenapa aku begitu bodoh jika berfikir tentang ini?”. Batinku.
“aku tak percaya jika kau tak pernah jatuh cinta…”. Ia berjalan meninggalkanku. Aku masih duduk di bawah pohon di dekat pemakaman umum itu. Beberapa menit berlalu dengan sia-sia. Tak juga kudapatkan pemecahan masalah yang kuhadapi ini. Aku bingung… untuk pertama kalinya aku dibingungkan oleh kata-kata love…
Berhari-hari aku tak pernah lagi bertemu dengan kakek hamid, saat aku ke toko bunga, sengaja aku mampir ke sana untuk mendapatkan pemecahan masalah itu, namun aku terkejut dan tetesan air mata tiba-tiba saja mengalir perlahan membaca sebait surat dari kakek hamid yang begitu banyak memberiku pelajaran dalam hidup.
………”trima kasih selama ini menjadi tempatku berbagi, namun usia, kita tak bisa memprediksi. Aku tahu kau pasti akan sedih. Dan kau tahu? Itu karena rasa sayangmu. Rasa kasih sayangmu kepada bundamu itu juga cinta… dan saat kau terima surat ini, mungkin kakek sudah bertemu dengan cinta sejati… tebarkan rasa kasihmu di mana pun kau berpijak. Tapi ingatlah… jangan terlalu mencintai… kecuali kepada Sang Cinta sejati…”
Aku pun mulai mengerti…